Mata Kuliah : Sejarah Sastra
Kamis, 6 September 2012
Periodisasi Sastra di Indonesia
Sastra
Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di
Indonesia. Istilah “Indonesia” sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi
terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut.Dalam
perkembangannya, khasanah kesusastraan di Indonesia mengalami perkembangan yang
signifikan.Terdapat beberapa periodesasi dalam perkembangan tersebut. Berikut 5
periodesasi sastra di Indonesia yang berhasil dirangkum uniknya.com:
1.
Angkatan Pujangga Lama
Pujangga
lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang
dihasilkan sebelum abad ke-20.Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair,
pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan
pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan
Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting
berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan.Hamzah Fansuri adalah yang
pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana
Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang
paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil,
serta Nuruddin ar-Raniri.
2.
Angkatan Sastra Melayu Lama
Karya
sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 – 1942, yang berkembang
dilingkungan masyarakat Sumatera seperti “Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan
daerah Sumatera lainnya”, orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya
sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat
dan terjemahan novel barat.
3.
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan
Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun
1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka.Prosa (roman, novel, cerita
pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun,
gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka
didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan
liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan
pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar).Balai Pustaka
menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan
bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan
bahasa Madura.
Sutan Iskandar dapat disebut sebagai “Raja
Angkatan Balai Pustaka” oleh sebab banyak karya tulisnya pada masa tersebut.
Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa
novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah “novel Sumatera”,
dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya. Pada masa ini, novel Siti Nurbaya
dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting.Keduanya menampilkan
kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu.Dalam
perkembangannya, tema-teman inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis
lainnya pada masa itu.
4.
Angkatan Pujangga Baru
Pujangga
Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai
Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap
karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.Sastra
Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa
itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir
Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane.Karya sastra di Indonesia
setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir
Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang
sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang,
pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak
Untung menjadi karya penting sebelum perang. Pada masa ini ada dua kelompok
sastrawan Pujangga baru yaitu : Satu, Kelompok “Seni untuk Seni” yang
dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah, dan Dua, Kelompok “Seni untuk
Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn
Pane dan Rustam Effendi.
5.
Angkatan 1945
Pengalaman
hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan
’45.Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga
baru yang romantik-idealistik.Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak
bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi
Chairil Anwar.Sastrawan angkatan ’45 memiliki konsep seni yang diberi judul
“Surat Kepercayaan Gelanggang”.Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan
angkatan ’45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.
Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke
Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan
prosa Indonesia.
Tionghoa dan Subversi Sastra Melayu-Rendah
SASTRA
Melayu-Rendah yang juga disebut sastra Melayu-Tionghoa, Melayu-China,
Melayu-Pasar, atau Melayu-Lingua Franca, pernah hidup di bumi Nusantara. Meski
usianya tak terlampau lama, sejak medio abad ke-19 hingga tahun 1960-an, telah
mencatatkan peran penting dalam sejarah literasi di Indonesia.Memeringati 80
tahun Sumpah Pemuda, Fakultas Sastra Undip bersama Masyarakat Tjerita Silat
menggelar bedah buku, sarasehan, dan diskusi yang mengangkat tema di seputar bahasa
dan sastra Melayu-Rendah.
Acara
yang berlangsung selama empat hari (25-28/10) itu, menghadirkan sejumlah pakar,
akademisi, dan pemerhati sastra Melayu-Rendah, antara lain Jacob Sumardjo, Ajip
Rosidi, Hendarto Supatra, Dwi Susanto, IM Hendrarti, Sutrisno Murtiyoso,
Herudjati Purwoko, dan Stefanus. Mereka mengupas sastra Melayu-Rendah dari
pelbagai sudut pandang.
Sebagai
istilah, sastra Melayu-Rendah bermuatan politis.Ia dimunculkan oleh Balai
Poestaka selaku pemegang otoritas kebahasaan Pemerintah Kolonial Belanda.
Lembaga yang didirikan pada 27 September 1917 itu, menganggap semua produk
kesusastraan yang tak menggunakan varian linguistik Melayu-Riau sebagai tidak
standar, rendah, cabul, dan liar.
IM
Hendrarti menengarai, pemberian stigma buruk terhadap sastra Melayu-Rendah
terkait dengan politik pembatasan penyebaran informasi yang dapat membahayakan
stabilitas pemerintah kolonial.Pasalnya, Melayu-Rendah dianggap sebagai ragam
bahasa yang biasa dipakai untuk kepentingan-kepentingan subversif, terutama
oleh para jurnalis di era pergerakan.